Senin, Juni 30, 2008

Kenangan di Kota Tua

Entah mengapa tulisanku ini diberi judul "Kenangan di Kota Tua"... apakah karena Jakarta kota kelahiranku adalah kota muda? Biarlah makna "tua" itu ku definisikan sendiri sebagai.... klasik, kuno, luas, indah, rigid... tidak banyak berubah, statis, dan... tentu saja tenang serta damai. Jakarta kota muda,..... hah, yang benar saja! Siapa yang pernah menamai jakarta "kota muda" selain penulis. Biarlah makna "muda" ku definisikan sebagai.... canggih, modern, sempit, jorok, dinamis, bergerak, dan.... tentu saja macet serta bising.

Kampungku di daerah Gunung Talang, Solok.... 1-2 jam dari kota Padang. Kampungku namanya Balai Gadang. Dulu pertama kali orang tuaku membawaku ke sana ketika aku baru belajar membaca. Hampir satu bulan di sana. Rumah nenekku tempatku bermalam adalah sebuah rumah tua berukuran panjang terbuat dari tembok.... lazimnya di kampung itu hingga sekarang pun rumah-rumah masih bergaya adat dengan berbahan kayu kuno yang sangat awet hingga puluhan tahun.

Jarak tiap rumah tidaklah rapat sebagaimana layaknya di Kota Jakarta, semuanya memiliki halaman dan pepohonan yang umumnya dibatasi tanaman pagar. Aku merasa semua tetangga dan jiran rumah adalah kerabat... sanak... family... karena dekatnya hubungan kekeluargaan satu sama lain. Mereka semua hafal silsilah kekeluargaan mereka satu sama lain.

Secara umumnya desa, jangan diharap bisa menemukan WC maupun mandi di kamar mandi dalam rumah karena semua itu terletak di luar rumah..... bahkan pekarangan yang agak jauh. Mandi umumnya di suatu pancuran yang mengalir selalu melalui kolam-kolam ikan, sungai, saluran-saluran yang bermuara ke sawah dari puluhan mata air.

Semuanya adalah kebahagiaan, tidak terlihat perasaan tertekan penduduknya karena kesulitan ekonomi dan himpitan hidup sebagaimana layaknya di Jawa. Semuanya bertani dengan penuh semangat.... tidak perlu berlari untuk mengejar impian.... tidak perlu sikut sana-sini untuk mengejar jabatan... layang-layang pun terbang dengan riangnya...
kukejar mimpi dan ambisi dia pun lari
kurasai ketenangan bahagialah yang menghampiri

Masih lekat dalam ingatanku sosok anak sebayaku yang mahir memanjat pohon kelapa. Dia adalah anak pengurus rumahku disana karena bertahun-tahun ditinggal penghuninya. Anak ini sangat menikmati dunianya hingga harus mengulang kelas 1 sekolah dasar sampai 5 kali!!!

Kami memiliki sawah puluhan hektar, pernah aku menyusuri semuanya bersama nenekku dari pagi baru selesai menjelang sore hari. Entah hari ini siapa tuan bagi sawah kami dulu.

Konon ibuku bercita-cita menghabiskan hari tuanya di negeri indah itu untuk mengurus sawah yang berhektar-hektar itu.

Oya, tentu tak lupa kusebutkan pemandian Sumur air panas yang terletak di pekarangan rumah salah satu nenekku disana. Namanya pemandian "Ayi Angek Sungsang".

Pernah sekali aku memancing di kolam rumahku dari pagi hingga petang.... tak terasa waktu yang berlalu karena gembira dengan tangkapan yang banyak.... entah berapa puluh. Selesai memancing maka semua ikan pun dimasak. Tentu bukan ikan biasa, ikan unik yang cuma bisa dinikmati di negeri yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Ikan berkumpul keluarlah telur
telur masak jadilah ikan
Siapakah yang luput dari tidur
Yang Maha Kuasa pencatat laku dan perbuatan


Website Hit Counter

Web Site Hit Counters

Read More..

Senin, Juni 09, 2008

HAMKA dan Habiburrahman

Sudah setengah tahun aku tinggalkan tarian jariku diblog ini, yang isinya cuma beberapa artikel ujicoba. Rasanya sulit sekali membangkitkan kembali semangat sastraku dan sudah lama kutinggalkan membaca puisi dan pantun, sejarah, tarikh dan adab. Aku kehilangan jiwa dan nafas kehidupan. Buku-buku dan teman diskusi yang dulu mudah ditemui rasanya sudah bersimpang jalan.
Tapi aku merasa punya hutang dengan sosok penulis yang banyak menginspirasiku. Makin banyak kuselami tulisannya dan karyanya yang hampir-hampir tenggelam terkalahkan kedigdayaan modernitas.
Aku tahu dia meluangkan dan mencurahkan jiwa raganya.....
Aku pun sadar sosok selama ini aku remehkan ternyata lebih kokoh dari gunung singgalang....
Aku malu atas inkonsistensiku, dalam keluh kesahku...

Pernahkah engkau membayangkan, berjalan kaki puluhan kilometer untuk mencari jalan... untuk suatu puncak keilmuan? Pernahkah engkau berpikir hambatan terbesarmu adalah dirimu sendiri yang ragu untuk menebas segala aturan moral dan sosial yang membelenggu keperkasaan sejatimu?

Sampai aku melihat buku-buku dan tulisannya, baru bisa kurasakan semangat dan nafas seorang sejarawan, saksi sejarah, dan indera keenam seorang ahli tarikh. Aku pun sadar bahwa hasil tulisannya merupakan akumulasi riset puluhan tahun, ketabahan, silaturahim dengan anak cucu pewaris sejarah, dan safar ribuan kilometer, semoga Allah membalas beliau.

Hari ini tentu semua serba mudah,
anda tinggal googling,
anda bisa ke pepustakaan universitas,
Kurang klasik?? kurang primer?? Pergilah ke Leiden... kamu akan temukan ribuan manuskrip.

Haji Abdul Malik bin Syekh Abdul Karim Amrullah, atau beliau menyingkatnya dengan HAMKA, seorang dari segelintir ulama produktif dizamannya. Karya2nya mencapai 108 buku, aku baru baca beberapa, diantaranya:
-Sejarah Islam jilid 1 s/d 5
-Tenggelamnya Kapal Van der Wijcks
-Tafsir Al Azhar (Juz 30)
-Kenang-Kenangan Hidup
-Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao
-Tasawuf dan Pemurniannya
-Filsafat Islam
-Perkembangan Kebatinan di Indonesia

Menulis seratus buku ilmiah berbobot dengan tebal rata2 diatas 200 halaman??!!! Di Negeri ini cuma sedikit yang terkenal mampu, diantaranya yang sezaman dengan beliau adalah Syeikh A.Hassan dan Prof. Tengku Hasybi Ash Shiddiqie.

Tentu saja hari ini orang-orang -termasuk guruku Ust. Hakim- menilainya lebih sebagai seorang sastrawan ketimbang ulama'. Maka menurutku beliau setara dengan Imam ahli sejarah Mesir abad 18, Syaikh Al Jabarati. Tentu saja ditinjau dari kedalaman dan otentisitas penyusunan buku beliau tentang sejarah serta keterlibatan sebagai saksi sejarah. Timur tengah punya Imam2 ahli sejarah yang memetakan dan mengungkap kejayaaan dan keagungan mereka. Sedangkan Asia Tenggara.... blom ada riset sejarah Islam yang menandingi otentisitas riset Buya Hamka sepengetahuan saya.

Tentu banyak yang melakukan penelitian sejarah, tapi perspektifnya tidak dari perspektif intelektual Islam. Sebagian besar yang dilakukan sarjana barat secara umumnya cuma menulis "Sejarah Orang Islam" bukannya "Sejarah Islam". Tentu saja tidak nampak ruh dan kekuatan serta keindahan dari fase-fase sejarah milik umat. Sebagiannya lagi cenderung punya "kepentingan terselubung" seperti pengkaburan dan pembiasan fakta-fakta sejarah sebagaimana dilakukan Snouck Hongronje dengan Teori Gujaratnya.

Hal yang terpenting yang menyebabkan tulisan sejarah dan tulisan2 Buya Hamka sangat "bernafas" tentu saja karena kekuatan unsur sastra dan pantun yang mengiringi bagian-bagian penting suatu fasal. Benar-benar khas sebagaimana penulisan kitab-kitab fiqh dan tarikh Islam klasik!

Dengan demikian buku-buku roman HAMKA kaya dengan unsur peradaban pada masanya serta pantun-pantun klasik sebagaimana latar belakang perkembangan keilmuan beliau.

Habiburrahman, Ayat-ayat Cinta, dan HAMKA

Sulit sekali buat saya membaca buku-buku roman maupun novel karena begitu melekatnya larangan membaca buku cinta yang terekam menjadi Superego tersendiri. Novel, roman, dongeng dan kisah-kisah fiktif lainnya merupakan lahwun, melalaikan. Pernahkan membayangkan buku yang anda baca serasa api yang menyambar-nyambar karena kuatnya penolakan dari hati dan keyakinan? C'mon... it's just a romantic novel, Helloooooooo....

Tapi membaca literatur menarik dan karya sastra juga kadung jadi tuntunan pengembaraan intelektual, sehingga membentuk menjadi Id sebagaimana memakai istilah yang digunakan Sigmund Freud. Bagaimanapun tebalnya novel Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih jilid 1 dan 2, seolah ada tangan ketiga yang menggoda kita untuk terus membalik se-halaman demi sehalaman.

Lagi-lagi tema "Cinta".... Tapi itulah karya yang paling menarik diikuti, paling banyak ditiru, dan tidak jarang menggugah pembaca dan penikmatnya untuk hanyut dalam khayal pengarangnya. Bagi pembaca roman-roman Buya HAMKA, tentu ketika membaca novel karya Habiburrahman Asy Syirazi setuju untuk menyematkan gelar "HAMKA muda" kepadanya. Corak novelnya yang relijius, kekuatan sastranya, pantunnya, kisah cintanya, sanggup melunturkan kesan keulamaan pengarangnya.

Seperti Roman "Tenggelamnya Kapal Van der Wijkcs". Bagaimana bisa seorang ulama besar sekaliber Buya HAMKA menulis kisah cinta, dengan sahut-sahutan kiriman surat cinta mendayu-dayu, yang digambarkan pada tokoh utamanya.?

Suatu kemampuan yang bertolak belakang dengan dunia yurisprudensi Islam. Aku harus membayangkan... beliau membangun karakter tokoh, menciptakan suasana dan setting waktu, mengkompilasi semua pengetahuan dan berita hari itu menjadi padu dalam kesatuan roman.... plus bumbu-bumbu puisi dan surat cinta. Alamaaak, tidakkah ayah beliau memarahinya????!!
Tentu saja, Syaikh Abdul karim ayah beliau berang setiap tahu anaknya baca cerita2 roman barat. "Kamu mau jadi ulama' atau tukang cerita", bentaknya.

Ayat-Ayat Cinta, tentu bukanlah copycat dari roman Buya HAMKA..... Tapi tentu dia copycat dari segenap karya roman (hari ini namanya novel, tentu dengan beberapa perbedaan).... apalagi kalo bukan mengkopi tema C.I.N.T.A. Hanya saja, kali ini memang Habiburrahman benar2 menguasai zamannya dan tetap konsisten dengan ideologinya, Islam. Persis yang dilakukan Buya HAMKA kurang dari satu abad lalu.

Bohong kalo karya besar tidak lahir dari pengalaman pribadi penulisnya yang "tanpa sengaja" turut menjiwai karakter dari -umunya- tokoh utama yang dia bangun. Tengok Tenggelamnya Kapal Van Der Wijcks, bukankah sang tokoh dalam roman lahir di Sumatera Barat, lalu merantau ke Mengkasar (hari ini dibaca Mankassar). Tentu tidak lain sejalan dengan perjalanan hidup HAMKA yang ketika menulis itu (kalo ngga salah tahun 30'an) diutus untuk tinggal lama di Makassar sebagai penyebar cabang Muhammadiyyah.

Sad ending pada akhir kisah rada2 mirip dengan kisah HAMKA muda yang harus berkali-kali putus cinta.

Ayat-Ayat Cinta...? Bukankah tokoh utamanya mahasiswa Kairo, persis dengan latar belakang keilmuan penciptanya. Lagi-lagi "Ketika Cinta Bertasbih" pun masih bertokoh "mahasiswa al Azhar Kairo".

Ketika booming "Ayat-Ayat Cinta" saya sempat di sms seorang kawan lama yang tinggal di Pontianak sekarang. Katanya, kisah "Ayat-Ayat Cinta" sangat mirip dengan pengalaman hidup saya..... jujur sampai sekarang saya belum baca buku itu. Tapi ketika saya baca sebagian dari "Ketika Cinta Bertasbih" saya benar2 terkagum-kagum dan tidak sanggup meneruskan.... betapa kisah si Azzam sangat mirip secara detil dengan kisah hidup saya.

Website Hit Counter


Web Site Hit Counters

Read More..