Sudah kesekian kalinya saya shalat dhuhur di mesjid besar dekat tempat saya mencari nafkah. Selalu saya takjub, bukan dengan megahnya mesjid itu, tetapi dengan peserta rutin shalat jamaah di situ. Untuk ukuran penduduk sekitar mesjid yang jumlahnya ribuan itu, jamaah zhuhurnya ngga lebih dari satu shaf. Barangkali yang spesial, orang-orang yang selalu terlihat berjamaah dengan saya. Bukanlah mereka penduduk komplek sekitar mesjid. Mereka itu datang dengan barang dagangannya, gerobaknya, sepeda ontelnya, masuk mesjid sembari berubah wujud jadi berpeci dan bersarung.
Tempat itu memang cukup sepi dan nyaman untuk beristirahat siang. Lokasinya jauh dari jalan utama. Sakit kepala saya sering saya tuntaskan di mesjid itu, bukan dengan mengaji atau shalat sunat, tapi cuma buat tidur siang. I’m not as perfect as a saint anymore, maybe.
Saya pernah dengar satu penjual muda berkisah tentang dirinya, tentang orang tuanya dan adik-adiknya yang masih kecil di kampung. Pengorbanannya mengadu nasib di Jakarta semata-mata agar riwayat keluarganya punya kelanjutan cerita. Nampak benar ketegaran hidupnya. Usianya jelas lebih muda dari saya. Cuma diakhir keluhannya, tidak lupa dia mengucapkan syukur dan mempercayakan peruntungannya kepada Allah belaka.
Peserta lainnya? Ada penjual bakso, penjual susu kedelai, tukang soto, Pak Pos, penjual makanan lainnya yang ngga jelas. Ngga jelas itu makanan apa…. lantaran jarang terlihat orang menjajakan makanan macam itu, seperti manisan jagung, agar-agar, atau apalah.
Tidak habis pikir, menurut saya makanan ngga jelas yang saya sebut itu pangsa pasarnya juga ngga jelas. Khan ngga semua orang suka beli manisan jagung. Segmennya sempit, positioningnya juga susah, apalagi mengedukasi orang untuk jadi konsumen loyal dengan produk itu. Mending jualan bakso atau soto. Semua orang suka, sering dibeli dan nampol kenyangnya. Kalo beruntung dagangan cukup enak, maka sejumlah konsumen akan loyal, senantiasa menanti kedatangannya.
Tentu saja mereka tidak ngerti… tidak paham istilah-istilah ekonomi macam positioning, segmen pasar, membaca demografi, analisa perilaku konsumen, atau apalah yang sering muncul di kuliahan orang gedongan. Sekolah mereka yah… jalanan itu, jalanan yang mengasah kepribadian mereka, jalanan telah membimbing mereka selalu tersenyum menghadapi orang, baik orang yang beli maupun sekedar lihat-lihat dagangan mereka. Guru mereka adalah Tuhan Semesta Alam.
Saya rasanya tidak berbakat jualan. Saya bukan keturunan pedagang. Almarhum Ayah dulunya PNS, Almarhum ibu saya selalu di rumah jadi koki yang baik. Saya tidak pintar tawar-menawar, tidak pula negosiasi.
Tapi… saya benar-benar pernah berdagang dulu, sudah lama sekali. Awal-awal pertama kuliah, uang kiriman selalu jauh dari cukup. Buku-buku kuliah tidak satupun terbeli bahkan hingga saya wisuda. Saya siasati dengan mengurangi makan jadi dua kali sehari. Ternyata badan saya tidak setuju cara seperti itu, beberapa kali saya kena diare, harus istirahat seminggu.
Keadaan itu sudah lebih dari cukup buat alasan kenapa akhirnya saya terima permintaan kawan saya untuk menjualkan dagangan buku-bukunya. Kawan saya mendaftar jadi agen buku Islam. Beliau mengambil buku dalam jumlah banyak. Buku-bukunya ringkas dan sederhana tapi berbobot. Isinya tentang agama semuanya, tentang tauhid, ahklak, fikih, macam-macam lah. Dibaginya sejumlah buku kepada beberapa kawan dan juga saya untuk minta dijualkan.
Saya bawa “dagangan” saya itu kepada teman-teman kuliah, ternyata banyak yang termakan juga tawaran saya dan akhirnya turut membeli. Setelah beberapa waktu habislah dagangan itu terjual semua. Untungnya tidak banyak, satu buku cuma ambil untung seribu dua ribu rupiah. Saya kembalikan uang hasil penjualan, sang empunya dagangan tersenyum juga. Dipandangnya saya sebagai orang yang pandai menjual. Sedangkan kawan-kawan yang lain banyak yang kembali dengan buku-buku yang tidak terjual, bahkan tidak laku sama sekali. Alhamdulillah, keuntungannya cukup juga buat beli satu buku agama yang saya suka waktu itu.
Kali kedua saya berdagang buku beberapa tahun kemudian. Waktu itu diminta membantu pengembangan satu sekolah Islam yang baru berdiri. Ketiadaan biaya operasional memaksa guru-guru disitu memutar otak untuk mendapat siswa baru menjelang tahun ajaran baru. Waktu itu saya belum wisuda.
Akhirnya kami nekat mengikuti pameran pendidikan di Bandung untuk sekedar memperkenalkan nama sekolah dan menginformasikan penerimaan siswa baru. Kami dapat stand dengan harga cukup murah dari panitia acara. Kawan saya itu -namanya Sulaiman- memang seorang negosiator ulung. Darimana menutupi biaya pameran? Kami jualan buku!
“Mas, ada buku sejarah nabi ngga?”, ujar seorang wanita cantik. Sepertinya seorang karyawati muda yang sangat tertarik dengan agama.
“Ada Mbak, yang ini nih”, saya menunjukkan satu buku berjudul Sirah Nabawiyah. Si Mbak cantik ini mulai tanya-tanya isi buku dan saya jawab dengan menguraikan isinya sebatas yang saya ingat.
“Saya sering menangis kalo baca sejarah nabi, rasanya koq berat sekali ujian mereka itu”, ujar si Mbak cantik. Saya cuma manggut-manggut tersenyum. Kalo lihat lahiriyahnya mbak ini yang belum berkerudung saya salut juga dengar ucapannya barusan.
Tidak puas dengan itu, dia mulai tanya-tanya isi buku-buku lainnya yang terjejer rapi di rak. Saya jawab semuanya dengan lengkap, sekalipun sebetulnya saya belum pernah baca. Tetapi dari judul buku pun sudah tersirat isinya dan tidak sulit buat saya menjelaskannya.
“Kamu tuh pinter sekali yah, koq bisa tahu semua isi buku disini”, ujarnya heran. Saya cuma tertawa dikatakan pintar begitu.
Saya coba tawarkan buku lainnya, tentang fatwa-fatwa ulama bagi wanita muslim.
“Wah, buku itu kayaknya berat, saya masih belum siap deh kayaknya”, ujarnya tersenyum. Mungkin sadar dengan cara berpakaiannya yang belum pantas dari sisi agama.
Dia membeli beberapa buah buku sembari menawar. Saya berikan diskon khusus sehubungan dengan masa pameran. Mbak cantik ini kemudian berterima kasih sebelum akhirnya berlalu dan menghilang. Dalam hati saya cuma mendoakan semoga buku-buku yang dibelinya bermanfaat dan memberikan hidayah buatnya. Pun terhadap pembeli lainnya saya melakukan hal yang sama, doa semoga mereka mendapat manfaat dari yang mereka beli. Barangkali itu yang namanya menjual dengan hati?
* tujjar = (Ar) bentuk jamak dari tajir, artinya pedagang
Kamis, Juni 25, 2009
Senandung Tujjar* (1)
Diposting oleh Hasan di 01.55 3 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)