Syahdan, telah berlalu masa berbulan-bulan sejak terakhir tulisan “Syair Abdul Muluk”. Tetapi baru kali ini sempat melanjutkan selayang pandang saya seputar syair tersebut. Penting sekali disebutkan disini sebagai amanat ilmiah, kuatir disangka orang bahwa saya penulis syair tersebut. Syair Abdul Muluk ini saya kutip dari buku Puisi Lama karya Sutan Takdir Alisjahbana hal. 56-62.
Syair terkenal ini dinisbatkan kepada Raja Ali Haji (1808-1873), pengarang Gurindam Dua Belas yang masyhur itu. Beliau merupakan peletak dasar bahasa Melayu – Indonesia, sebagai tonggak awal kesusasteraan Melayu. Atas jasanya itulah pemerintah menggelari beliau Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Diakhir syair ini diberi catatan oleh St. Takdir Alisjahbana :
Dalam surat Raja Ali Haji kepada Roorda van Eijsinga tanggal 2 Juli 1846 ada tertulis: “Syahdan suatupun tiada cendera mata kepada sahabat kita, hanyalah satu surat Hikayat Sultan Abdul Muluk yang sudah kita sendiri nazamkan dengan bahasa Melayu Johor yang terpakai pada masa ini.”
Jadi menurut surat ini terang Raja Ali Haji sendiri yang mengarang syair Abdul Muluk ini. Tetapi menurut keterangan H. von de Wall, bukanlah Raja Ali Haji yang mengarang syair itu, tetapi saudaranya yang perempuan, yang bernama Saleha.
Adapun Raja Ali Haji itu saudara sepupu Raja Ali yang menjadi raja muda Riau dari tahun 1844 hingga tahun 1857. Selesai.
Entah mana yang benar, tetapi Hermann Von de Wall ini tentu tidak mengada-ada. Lantaran beliau itu seorang sarjana kebudayaan Belanda yang menjadi teman dekat Raja Ali Haji.
Raja Ali Haji sendiri dilahirkan di pusat kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Pulau Penyengat kini memiliki museum yang menyimpan ratusan manuskrip klasik karya sejumlah tokoh asli Pulau Penyengat, jumlahnya konon mencapai 800 buah. Bisa dibayangkan betapa hebatnya kegiatan dan tradisi keilmuan di Pulau kecil tersebut hingga kurun abad 19, sehingga mampu menelurkan banyak sekali karya tulis dan tentu saja memiliki banyak penulis pula.
Jika benar bahwa syair ini aslinya dikarang oleh saudari dari Raja Ali Haji, maka terbayang oleh kita hebatnya pendidikan tertanam kepada kaum wanita disana. Betapa tidak, tentunya seorang penulis syair selain harus menguasai kemampuan bersyair itu sendiri, juga tentunya pandai menulis. Manuskrip syair ini ditulis dalam khat Arab-Jawi.
Artinya, sebagai bangsa yang memiliki sejarah intelektual tinggi seperti di pulau Penyengat ini, tidak melupakan pendidikan bagi kaum wanita. Apalagi syair ditulis dengan tulisan Arab-Jawi, jelaslah bahwa penulisnya bukan orang yang belajar di institusi yang didirikan Belanda. Melainkan menimba ilmu dari pendidik-pendidik Islam.
Konon bagi orang-orang Melayu dulu, sekolah Belanda dalam pandangan mereka merupakan sekolah kafir. Sehingga engganlah orang belajar ke sana. Maka bisa diperkirakan bahwa orang melayu pun mengembangkan institusi pendidikan sendiri untuk meningkatkan taraf pengetahuannya. Jika tidak, tentulah mereka yang produk sekolah Belanda akan menulis dengan huruf latin.
Bahkan karena umumnya orang melayu lebih menguasai abjad Arab – Jawi, maka uang gulden belanda disini pun dicetak dengan tulisan Arab Jawi.
Dengan demikian, agaknya peran Kartini tentang pendidikan perempuan itu agaknya kelewat dilebih-lebihkan. Toh di tanah Melayu semisal pulau Penyengat pun telah banyak wanita yang pandai membaca dan mengajarkannya pula jauh sebelum Kartini memulai. Perjuangan Kartini sebetulnya lebih mencerminkan pandangan tanah Jawa seputar pendidikan bagi kaum wanita yang cenderung bergaya feodal. Namun di tanah Melayu kala itu, wanita jauh lebih bebas berekspresi.
Mengenai isi syair sendiri, tergambar bagi kita tentang tingkah laku, adat istiadat, dan kehalusan budi bahasa orang-orang dahulu. Disini dikisahkan tentang pernikahan putera raja Abdul Hamid Syah, Abdul Muluk yang berusia 13 tahun dengan Sitti Rahmah, 10 tahun. Nyatalah bahwa zaman dahulu, orang-orag menikah dalam usia sangat belia menurut ukuran sekarang. Jika kejadian itu terjadi hari ini tentu gemparlah seluruh nusantara. Gadis usia 12 tahun saja dinikahi seorang pimpinan pondok pesantren bisa menyedot perhatian politikus, polisi, presiden, bahkan menjadi bensin bagi infotaintment untuk menyauk rejeki dari pemberitaan.
Barangkali juga makanya orang dahulu cepat sekali dewasa. Ada yang mampu memimpin kerajaannya di usia belum genap 20 tahun, bahkan menjadi panglima perang sekaligus. Jadi menikah membuat dewasa yah????!!!!
Disini pun digambarkan betapa agungnya acara pernikahan orang-orang dahulu. Walimah benar-benar acara suka cita, silaturahmi dengan sanak family, handai taulan, dan masyarakat seluruhnya. Tidak cukup sehari, bahkan dipersiapkan selama 40 hari!
Selebihnya, syair menggambarkan suasana resepsi yang serba indah dan membuai hati yang membacanya. Yang sudah pernah walimah jadi senyum-senyum sendiri, yang belum pun jadi ingin bersegera.
Sekarang zamannya sudah instan, tinggal hubungi gedung, minta jadwal. Trus kontak katering, cetak kartu undangan, panggil penghulu, beres! Walimah di gedung bagus, cukup selama 2 jam kurang lebih. Setelah itu, wassalam.
2 komentar:
Assalamualaikum warahmatullah,
Maaf, Uda Zico,kalau tdk berkenan just delete tulisan ini.Saya hanya teringat antm cukup concern dalam sastra bahasa.Dan siapa tahu berminat.Kebetulan ada yg menitipkan informasi kpd saya.Ada kawan pena saya di Mesir, yang sedang mencari akurator (editor) bahasa indonesia.Pernah dengar www.islamweb.com milik kemnetrian waqaf qatar?Mereka sedang membuat versi indonesianya.Tes akan melalui internet.Sepertinya akan dijadikan staf tetap.Kalau berminat silahkan kirim cv nya.Maaf sekali lagi jika tak berkenan saya hubungi.Jazaakumullah khair.Wassalam
Dengan asumsi bahwa orang menikah adalah orang yang sudah mandiri, saya rasa yang terjadi sekarang adalah orang-orang terlambat mencapai kemandirian---moril maupun materil---dibandingkan orang jadul. Saya pikir ini ada hubungannya dengan perubahan gaya hidup sehingga generasi sekarang lebih lambat mencapai kemandirian.
Salam :)
Posting Komentar