Nun beberapa bulan lalu, setelah awal hari pertama tahun ini aku terpaksa mengundurkan diri tanpa hormat dari sebuah perusahaan yang tanpa dosa menginjak harkat manusia, merupakan kali kesekian harus mengulang kisah sedih perjuangan manusia yang ditinggal pergi induknya. Alhamdulillah ‘ala kulli hal… segala puji bagi Allah atas segala sesuatu…
Sungguh sampai detik ini aku belum paham apa rencana Tuhan dibalik semuanya…. Lagi-lagi aku harus memupuskan mimpiku untuk merintis masa depan sebagaimana layaknya orang-orang seusiaku. Kandas sudah rencana, hampir mati putus asa kehabisan nafas. Bukan nafas biasa, tapi nafas kehidupan yang memompa manusia untuk melanjutkan misi yang diembannya. Kata Doel Sumbang :
Cinta itu anugerah maka berbahagialah
Sebab kita sengsara bila tak punya cinta
Benar sekali, lagu merupakan ungkapan jiwa yang paling jujur. Bertahun-tahun hidup tanpa keluarga, punya “anak-anak tanggungan” tapi koq single parent, ga punya teman…. Yang pernah jadi teman banyak, tapi cuma teman dalam suka yang menganggap kita ngga ubahnya habis manis sepah dibuang, teman yang kalo duka dia nafsi-nafsi….. kita urus diri kita masing-masing, berkawan dengan bayang-bayang. Plus kesendirian multidimensi, ga punya sanak sodara, sedarah banyak tapi koq ngga beda sama penyamun. Maka kembalilah aku pada kebiasaan lamaku, berjalan kaki malam hingga larut. Kebiasaan yang aneh memang, buat orang yang temannya adalah kesendirian, nyanyiannya adalah kesedihan, dan mimpinya selalu bersama kuburan.
Mungkin begini cara tuhan mendidik hambanya, sebagian hambanya yang durhaka dan banyak maksiat diuji dengan kehilangan dan kesendirian, terampas kebahagiaannya, tercerabut angan-angannya dari singgasana langit. Laksana menara gading, mendongak meraih langit tidak sampai… tapak kaki pun tidak menyentuh bumi. Bumi mana sudi menerimanya.
Dalam kesedihan tanpa pegangan, masih bisa kupenuhi permintaan adikku yang masih kecil. “Kak, mana hadiahnya? Yola mau naik sepeda bareng temen-temen?”
“Emang Yola bisa naik sepeda”, sentilku sekalian berpikir seakan lupa umurnya sudah hampir genap 10 tahun sejak hari pertama kemunculannya telah ditinggal mati Ibunya, anak yang malang.
“Mau sepeda apa, coba tanya tante disana harganya berapa nanti Abang kirim ke Padang”. Ngga usah lah anak ini tahu Abangnya habis di-PHK. Duitnya dari mana dan dengan apa aku harus makan besok terserah Tuhan saja.
Tak lama muncul sms dari tanteku yang mengasuhnya di Padang, “Sepeda anak harganya 900 ribu, tolong transfer ke rekening tante”. Astaghfirullah, terakhir kapan aku beli sepeda? Oh yah, ayahku belikan sepeda 15 tahun lalu, harganya Rp. 200 ribu. Lemas sudah…..
Selang beberapa waktu kemudian, adikku yang ngga selesai-selesai kuliahnya sejak 2002 meminta dibelikan komputer. Ah… ngga usah lah dia tahu aku sudah 4 bulan nganggur. Patungan dengan tabungan adikku yang masih kuliah di UIN, terkirimlah hampir 2 juta. Mati rasa!!!!
Sudah berapa rupiah aku investasikan demi kuliahnya yang menginjak 6 tahun ini bisa selesai. Cuma jurusan pertanian, kenapa harus 6 tahun???!!!!
Makan dari mana sekarang? Masih ada teman-teman kecil yang jauh dimata dekat dihati menolong. “Zic, ente mau ngajar ngga? Tapi jauh di Pamulang”
Pamulang???!!! Meruya – pamulang ??!!Waktu tempuh 3 jam, setara Bandung – Tasik,… 3 kali pindah angkutan dan akhirnya di tempat tujuan dijemput karena rumahnya jauh.
“OK, jam berapa jadwalnya?” Ujarku siap untuk apapun selama judulnya Halaal.
Jumlahnya tidak besar, ngga sebanding dengan ongkos transport dan lelah yang luar biasa di perjalanan. Begini cara Tuhan membalas kedurhakaan hambanya…
“Assalamu’alaikum” ujarku sambil masuk ke rumah murid yang pandai ini. Rumahnya sederhana tidak terlalu besar, orangtua anak ini terlihat sangat cerah dan bahagia menyambutku.
“Silakan masuk nak Zico, kamu kelihatannya lebih layak buat jadi pengajar ngajinya Bayu daripada pengajar bimbel”, Bapak si Bayu ini sepertinya terkesan denganku, mungkin dia cuma menilai lahiriyahku saja. Aku pun terlupa dengan statusku yang mantan konsultan IT tapi banting stir ngajar bimbel. Kunikmati tugas ini...
Murid yang kuajar inipun ternyata cukup pandai menangkap pelajaran, cita-citanya adalah bisa kuliah di Teknik Perminyakan ITB. Dia anak akselerasi, cuma dua tahun berhak ikut SPMB. Alhamdulillah anak ini terdidik dari keluarga yang saleh dan ridha pada ketentuan Tuhan. Benar-benar bahagia lihat keluarga seperti ini, ada kehangatan, cinta dan kasih sayang, kontras benar dengan kehidupanku.
Setiap selesai belajar hidangan makan selalu siap. “Nak Zico, ayo makan malam dulu”… “Duh, tante koq repot-repot”, awalnya aku menolak karena segan, sudah dibayar koq minta makan juga.
Makanan disana berbeda, khas rasa buatan seorang ibu…. Meskipun bumbunya tidak beda dengan yang biasa aku hadapi di warung makan tapi tetap saja… bukan makanan biasa.
Berbulan-bulang ngajar bimbel dengan penghasilan ala kadarnya tapi bahagia, menghadapi manusia yang bahagia. Andai…. Semua ini tidak harus dinilai dengan uang, tentu aku mau ngajar terus-terusan, mendidik orang supaya lebih pintar dari kita. Berenti dari kerjaan kantoran yang penuh tipu daya, sikat sana-sikat sini, suap sekian juta dapat sekian M.
Aku sibukkan waktu luangku untuk membaca buku-buku sastra dan sejarah, aku sempatkan ditengah perjalanan turun di kampus UIN, pergi ke perpustakaannya dan membaca sebagaimana kebiasaanku dulu.
Ya Allah, jadikan aku pengajar saja…. Ilmu yang bermanfaat terus bertambah pahalanya sekalipun setelah masuk liang kubur. Aku ga betah jadi pengejar dunia, lompat satu kantor pindah lagi cari yang lebih baik…. Begitu terus….
Dan akhirnya perpisahan pun menjadi sunnatullah, hari terakhir bulan April, hari terakhir mengajar. Nganggur lagi….
Aku terus berpikir tentang masa depan, dan masa lalu. Aku…. Bagian masa lalu yang harus menghadapi masa depan. Ingin kucium kuburanku, kuhampiri alam orang tuaku, kutemui nenekku tersayang, Bang Walto,….. mereka semua melayang melambaikan tangan sambil tersenyum “Kita akan bertemu sebentar lagi, tetaplah berjuang”
continue insyaAllah
0 komentar:
Posting Komentar